Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional
Fakta menunjukkan bahwa selama abad ke-20, jutaan orang yang terdiri atas anak-anak, perempuan, dan laki-laki telah menjadi korban kekejaman yang tidak terbayangkan dan dapat menggoyahkan hati nurani kemanusiaan.
Perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan dunia telah terancam dan kekejaman berat yang sangat serius telah menjadi keprihatinan bagi seluruh masyarakat internasional.
Namun hingga menjelang akhir abad ke-20, diduga masih ada orang yang melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia, tetapi masih terbebas dan tidak tersentuh pengadilan.
Mengapa? Hal ini disebabkan oleh sistem peradilan nasional di setiap negara tidak selalu efektif dalam melakukan proses peradilan terhadap pelaku kejahatan. Contohnya, pada kasus-kasus penjahat perang dari masa Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Hanya mereka yang secara individu diduga kuat dan didukung oleh sejumlah bukti, didakwa melakukan kejahatan perang (war crimes) atau kejahatan kemanusiaan (humanity crimes), kemudian diadili dalam suatu pengadilan internasional yang dibentuk khusus di negara tertentu yang bersifat sementara (pengadilan ad hoc).
Begitu pula pada kasus-kasus pasca-Perang Dunia II, seperti Mahkamah Tokyo dan Nurrenberg yang dibentuk untuk mengadili penjahat perang di Rwanda (1994) dan di Yugoslavia (1993). Setelah selesainya pelaksanaan sidang, pengadilan ad hoc ini terus dibubarkan.
Banyak pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang dinilai serius oleh masyarakat internasional (seperti Polpot di Kamboja dan Idi Amin di Uganda), baik di depan sidang pengadilan nasional maupun di depan Mahkamah Pidana Internasional, ternyata luput dari pertanggungjawaban individual.
Perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan dunia telah terancam dan kekejaman berat yang sangat serius telah menjadi keprihatinan bagi seluruh masyarakat internasional.
Namun hingga menjelang akhir abad ke-20, diduga masih ada orang yang melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia, tetapi masih terbebas dan tidak tersentuh pengadilan.
Mengapa? Hal ini disebabkan oleh sistem peradilan nasional di setiap negara tidak selalu efektif dalam melakukan proses peradilan terhadap pelaku kejahatan. Contohnya, pada kasus-kasus penjahat perang dari masa Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Hanya mereka yang secara individu diduga kuat dan didukung oleh sejumlah bukti, didakwa melakukan kejahatan perang (war crimes) atau kejahatan kemanusiaan (humanity crimes), kemudian diadili dalam suatu pengadilan internasional yang dibentuk khusus di negara tertentu yang bersifat sementara (pengadilan ad hoc).
Begitu pula pada kasus-kasus pasca-Perang Dunia II, seperti Mahkamah Tokyo dan Nurrenberg yang dibentuk untuk mengadili penjahat perang di Rwanda (1994) dan di Yugoslavia (1993). Setelah selesainya pelaksanaan sidang, pengadilan ad hoc ini terus dibubarkan.
Banyak pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang dinilai serius oleh masyarakat internasional (seperti Polpot di Kamboja dan Idi Amin di Uganda), baik di depan sidang pengadilan nasional maupun di depan Mahkamah Pidana Internasional, ternyata luput dari pertanggungjawaban individual.