File Modul/Soal/Ebook App [KLIKDISINI]

Pengertian Jual Beli, Qirad, dan Riba

Pengertian Jual Beli, Qiraḍ, dan Riba - Kompetensi dasar dari materi ini yaitu Menghayati ketentuan jual beli dan qiraḍ, Menyadari manfaat dan hikmah larangan riba dalam jual beli, Membiasakan sikap jujur sebagai implementasi dari pemahaman ketentuan jual beli dan qiraḍ, Membiasakan sikap tanggung jawab sebagai implementasi dari pemahaman riba, Memahami ketentuan jual belidan qiraḍ, Menganalisis larangan riba, Mempraktikkan pelaksanaan jual beli dan qiraḍ dan Mensimulasikan tata cara menghindari riba.

Praktik jual beli sudah dilakukan sejak manusia ada hanya saja caranya yang berbeda-beda. Jaman dahulu Praktik jual beli dengan tukar-menukar barang/barter, kemudian jual beli berkembang dengan menggunakan alat tukar berupa uang. Dalam perkembanganya terdapat transaksi jual beli yang tidak menggunakan uang secara nyata tetapi menggunakan berbagai alat sebagai pengganti uang, seperti kartu kredit, ATM dll.

1. Pengertian Jual Beli (Bai’)

Arti jual beli secara bahasa adalah menukar sesuatau dengan sesuatu. Jual beli menurut syara’ adalah akad tukar menukar harta dengan harta yang lain melalui tata cara yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Yang dimaksud kata “harta” adalah terdiri dari dua macam, Pertama; harta yang berupa barang, misalnya buku, rumah, mobil, dll. Kedua harta yang berupa manfaat (jasa), misalnya pulsa telephone, pulsa listrik dll.

Pengertian Jual Beli, Qiraḍ, dan Riba

2. Hukum Jual Beli

Dasar hukum jual beli adalah sebagai berikut
a. Dasar al-Qur’an
Hukum jual beli pada dasarnya adalah halal atau boleh, berdasarkan :Q.S. al-Baqarah ayat : 275
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila . Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya…(Q.S. al-Baqarah : 275)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. ………. (Q.S. an-Nisa : 29)

b. Al Hadits :
“Dari Rifa’ah ibn Rafi’ RA. Nabi Muhammad Saw. . Ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, ‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur’.”(HR. Bazzar, hakim menyahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’)

Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain. Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas maka hukum dari jual beli adalah halal atau boleh.

3. Syarat dan Rukun Jual Beli

a. Syarat jual beli
Syarat adalah hal-hal yang harus ada atau dipenuhi sebelum transaksi jual beli

1). Syarat Penjual dan Pembeli atau pihak yang bertransaksi (akid) adalah
a) Baligh
b) Berakal
c)  Ruṣdu (memiliki kemampuan untuk bisa melaksanakan urusan agama dan mengelola keuangan dengan baik)
d)  Suka sama suka, yakni atas kehendak sendiri, tanpa ada paksaan dari orang lain :

Rasulullah Saw. bersabda:
“Nabi Muhammad Saw.  bersabda  sesungguhnya jual beli itu sah, apabila dilakukan
atas dasar suka sama suka” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Majjah)

2). Syarat Barang yang diperjualbelikan atau Objek jual beli (Ma’qud alaih)
a) Suci
b) Bermanfaat
c) Dalam kekuasaaan penjual dan pembeli
d) Dapat diserah terimakan
e) Barangnya, kadar dan sifat harus diketahui oleh penjual dan pembeli

3). Syarat ucapan serah terima (ijab dan kabul)
Ijab kabul dapat dilakukan dengan kata-kata penyerahan dan penerimaan atau dapat juga berbentuk tulisan seperti faktur, kuitansi atau nota dan lain sebagainya.
Ijab adalah ucapan penjual kepada pembeli sedangkan kabul adalah ucapan penerimaan dari pembeli. Praktik ijab kabul pada saat ini dapat juga dilakukan dengan bentuk tulisan, seperti menggunakan kuitansi, faktur dan lain sebagainya.

4). Syarat alat transaksi jual beli
Alat transaksi jual beli haruslah alat yang bernilai dan diakui secara umum penggunannya.

b. Rukun jual beli
Rukun adalah hal-hal yang harus ada dan terpenuhi dalam pelaksanaan transaksi jual beli Rukun jual beli ada 3
1). Aqid (pihak yang bertransaksi)
2). Ma’qud alaih mencakup barang yang dijual dan harganya
3). Sighat ijab kabul (ucapan serah terima dari penjual dan pembeli)
4). Ijab dari pihak penjual, kabul dari pihak pembeli

Sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Hasyiah al Baijuri, juz I hal. 338 Rukun jual beli ada tiga : Akid (pihak yang bertransaksi), Ma’qud alaih (barang yang dijual belikan) dan ucapan ijab kabul

4. Macam-macam jual beli

1. Bai’ ṣohihah
Yaitu akad jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunya

2. Bai’ fasidah
yaitu akad jual beli yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat dan rukunnya
a. Macam-macam bai’ṣohihah
1). Jual beli barang yang terlihat secara jelas dan ada ditempat terjadinya transaksi
2). Jual beli barang pesanan yang, lazim dikenal dengan istilah dengan akad salam
3). Jual beli mas atau perak, baik sejenis atau tidak(bai’ sharf)
4). Jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan ditambah keuntungan (bai’ Mu- rabahah)
5). Jual beli barang secara kerja sama atau serikat (bai’ Isyrak)
6). Jual beli barang dengan cara penjual memberi diskon kepada pembeli (bai’ muhaṭah) 7). Jual beli barang dengan harga pokok, tanpa ada keuntungan (bai’ tauliyah)
8). Jual beli hewan dengan hewan (bai’ muqabaḍah)
9). Jual beli barang dengan syarat khiyar, yaitu perjanjian yang telah disepakati antara penjual dan pembeli, untuk mengembalikan barang yang diperjual belikan, jika tidak ada kecocokan didalam masa yang telah disepakati oleh keduanya.
10). Jual beli barang dengan syarat tidak ada cacat (bai’ bisyarti al baro’ah min al ‘aib)

b. Macam-macam bai’ fasidah (terlarang)
Jual beli yang terlarang artinya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli yaitu:

1). Jual beli sistem Ijon
Maksud jual beli system ijon adalah jual beli hasil tanaman yang masih belum nyata buahnya, belum ada isinya, belum ada buahnya, seperti jual beli padi masih muda, jual beli mangga masih berujud bunga. Semua itu kemungkinan bisa rusak masih besar, yang akan dapat merugikan kedua belah pihak. Rasulullah Saw. bersabda:
“Dari Ibnu Umar Nabi Muhammad Saw. telah melarang jual beli buah-buahan sehingga nyata baiknya buah itu (pantas untuk diambil dan dipetik buahnya)”, (HR. Bukhori dan Muslim)

2). Jual beli barang haram
Jual beli barang yang diharamkan hukumnya tidak sah dan dilarang serta karena haram hukumnya. Seperti jual beli minuman keras (khamr), bangkai, darah, daging babi, patung berhala dan sebagainya.

3). Jual beli sperma hewan
Jual beli sperma hewan tidak sah, karena sperma tidak dapat diketahui kadarnya dan tidak dapat diterima wujudnya. Rasulullah Saw. bersabda:
“Rasulullah Saw. telah melarang jual beli kelebihan air (sperma)” (HR. Muslim)

4). Jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan induknya
Hal ini dilarang karena belum jelas kemungkinannya ketika lahir hidup atau mati. Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan induknya”(HR. Bukhori dan Muslim)

5). Jual beli barang yang belum dimiliki
Maksudnya adalah jual beli yang barangnya belum diterima dan masih berada di tangan penjual pertama. Rasulullah Saw. bersabda:
“Nabi Muhammad Saw. telah bersabda janganlah engkau menjual sesuatu yang baru saja engkau beli, sehingga engkau menerima (memegang) barang itu “(HR. Ahmad dan Baihaqi).

6). Jual beli barang yang belum jelas
Menjual buah-buahan yang belum nyata buahnya, Sabda Nabi Muhammad Saw. dari Ibnu Umar Ra. :
“Nabi  Muhammad  Saw.  telah  melarang  menjual  buah-buah  yang  belum  tampak
manfaatnya” (HR. Muttafaq Alaih).

5. Jual beli yang Sah Hukumnya, tetapi Dilarang Agama

Jual beli ini hukumnya sah, tetapi dilarang oleh agama karena adanya suatu sebab atau akibat dari perbuatan tersebut, yaitu:

a. Jual beli pada saat Khutbah dan shalat jum’at
Larangan melakukan kegiatan jual beli pada saat khutbah dan shalat jum’at ini tentu bagi laki- laki muslim, karena pada waktu itu setiap muslim laki-laki wajib melaksanakan shalat jum’at. Allah Swt. berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan untuk menunaikan shalat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S. al-Jum’ah: 9)

b. Jual beli dengan cara menghadang di jalan sebelum sampai pasar
Jual beli seperti ini, penjual tidak mengetahui harga pasar yang sebenarnya, dengan tujuan barang akan dibeli dengan harga yang serendah-rendahnya, selanjutnya akan dijual di pasar dengan harga setinggi-tingginya. Rasulullah Saw. bersabda:
“janganlah kamu menghambat orang-orang yang akan ke pasar” (HR. Bukhari dan Muslim)

c. Jual beli dengan niat menimbun barang
Jual beli ini tidak terpuji, oleh karena itu dilarang, karena pada saat orang banyak membutuhkan justru ia menimbun dan akan dijual dengan harga setinggi-tingginya pada saat barang-barang yang ia timbun langka. Rasulullah Saw. bersabda:
“Rasulullah Saw. telah bersabda tidaklah akan menimbun barang kecuali orang-orang yang durhaka” (HR. Muslim)

d. Jual beli dengan cara mengurangi ukuran dan timbangan
Contoh jual beli mengurangi ukuran dan timbangan adalah apabila ia bermaksud menipu, ia menjual minyak tanah dengan mengatakan satu liter ternyata tidak ada satu liter, menjual beras 1 kg, ternyata setelah ditimbang hanya 8 ons dan sebagainya.

e. Jual beli dengan cara mengecoh
Jual beli ini termasuk menipu sehingga dilarang, misalnya penjual mangga meletakkan mangga yang bagus-bagus di atas onggokan, sedangkan yang jelek-jelek ditempatkan di bawah onggokan. Sabda Nabi Muhammad Saw. :
“Nabi melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipuan”(HR. Muslim).

f. Jual beli barang yang masih dalam tawaran orang lain
Apabila masih terjadi tawar menawar antara penjual dan pembeli hendaknya penjual tidak menjual kepada orang lain, sebaliknya apabila seseorang akan membeli sesuatu barang maka hendaknya tidak ikut membeli sesuatu barang yang sedang ditawar oleh orang lain, kecuali sudah tidak ada kepastian dari orang tersebut atau sudah membatalkan jual belinya. Sabda Nabi Muhammad Saw.  :
 “Janganlah seseorang menjual sesuatu yang telah dibeli orang lain” (Muttafaq Alaih).


1. Pengertian Qiraḍ

Dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib, hlm. 37 dijelaskan :
Qiraḍ adalah penyerahan harta dari Shahib al mal (pemilik dana) kepada pengelola dana, sebagai modal usaha. Keuntungan nya di bagi sesuai dengan nisbah (perbandingan laba rugi) yang disepakati.

Qiraḍ dalam perbankan Syari’ah sering disebut dengan istilah muḍarabah, yakni bentuk pinjaman modal tanpa bunga dengan perjanjian bagi hasil. Modal 100% dari pemilik dana/ Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) dan pengelola usahanya adalah nasabah (Peminjam).

Dari penjelasan di atas dapat di ambil kesimpulan, bahwa Qiraḍ/ Muḍarabah adalah : Usaha Bersama antara pemilik modal (Perseorangan atau LKS : BMT, BPR Syari’ah, dll) dengan orang yang menjalankan usaha dengan system bagi hasil, dengan syarat-syarat tertentu.

2. Hukum Qiraḍ

Hukum Qiraḍ /Muḍarabah adalah boleh atau dibolehkan. Qiraḍ mengandung unsur saling tolong menolong, antara pemilik modal (Perseorangan / LKS ) dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana atau modal. Dalam hal ini, Dewan Syari’ah Nasional MUI mengeluarkan Fatwa tertanggal NO : 07/ DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Muḍarabah (Qiraḍ ). Di dalam Fatwa tersebut dijelaskan tentang dasar-dasar keputusan dan persyaratan-persyaratannya.

Dalam Hadis Nabi riwayat Imam Ṭabrani :
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai Muḍarabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak melewati lautan dan menuruni lembah, dan tidak membeli hewan ternak, Jika persyaratan itu di langgar, Ia (mudharib) harus menaggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu di dengar Rasulullah Saw., beliau membolehkannya” (HR. Ṭabrani

Ada kaidah Fiqih menyebutkan :
“Pada  dasarnya,  semua  bentuk  muamalah  boleh  di  lakukan  kecuali  ada  dalil  yang mengharamkannya”.

3. Rukun dan Syarat Qiraḍ

a. Rukun Qiraḍ ada enam, seperti yang di sebutkan dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hlm. 22
Rukun Qiraḍ ada 6 :
1). Malik / Pemilik modal 2). Amil / Pengelola
3). Mal / Modal / dana 4). ‘Amal / usaha
5). Ribh / Laba / Keuntungan
6). Ṣigat ijab kabul / ucapan serah terima (akad)

b. Syarat Qiraḍ
1). Pemilik dan pengelola modal sudah dewasa dan sehat akal dan ada kerelaan (tidak boleh ada paksaan ). Pengelola modal tidak boleh menyalahi hukum
2). Modal harus di ketahui jumlah dan jenisnya.
3). Kegiatan usaha pengelola dana (nasabah) tidak ada campur tangan pemilik dana tapi berhak melakukan pengawasan.
4). Pembagian keuntungan harus dinyatakan di awal dan di catat dalam perjanjian (akad)
5). Akad Ijab kabul harus dinyatakan oleh kedua pihak untuk menunjukan tujuan kerjasama, dan sebaiknya tertulis


4. Jenis Qiraḍ

Secara garis besar Qiraḍ   dapat dibagi menjadi 2 jenis :
1. Muḍarabah Muṭlaqah, adalah bentuk kerjasama antara pemilik dana dan pengelola dana, yang cakupannya sangat luas, dan tidak dibatasi oleh jenis usaha, lokasi, waktu, bentuk pengelolaan, dan mitra kerjanya.
2. Muḍarabah Muqayyadah, adalahbentukkerjasamaantarakeduabelahpihak, dan pengelolanya di batasi oleh beberapa persyaratan. (kebalikan dari Muḍarabah Muṭlaqah)


1. Pengertian Riba

Riba menurut Bahasa artinya lebih atau bertambah. Adapun Riba menurut Syara’ adalah tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang mengadakan transaksi.

Contoh transaksi riba:
Anik membutuhkan modal Rp 1.000.000 (Satu Juta Rupiah) untuk berjualan roti. Anik meminjam uang sebagai modal berjualan roti kepada Yesi. Yesi bersedia memberikan pinjaman kepada Anik Rp 1.000.000 (satu juta rupiah), asalkan si Anik nantinya mengembalikan pinjamannya sejumlah Rp 1.500.000 (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Yesi tidak mau tahu apakah usaha itu nantinya untung atau rugi.

Praktik transaksi yang dilakukan Anik dan Yesi adalah riba, sebab (1) memberatkan Anik, karena harus mengembalikan pinjaman Rp. 1.500.000 (tambah 50%). (2) tambahan sebesar Rp 500.000,- itu atas kemauan sebelah pihak, yaitu Yesi selaku pemberi pinjaman.

Contoh transaksi yang tidak mengandung riba:
Ahmad merintis peternakan ayam petelur. Modal yang dibutuhkan Ahmad Rp 2.500.000 (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Selanjutnya Ahmad meminjam BPR Syari’ah Meru. Dalam akad perjanjian disepakati nisbah bagi hasil dari keuntungan 80 : 20 (80 % untuk pengelola dan 20 % untuk pemilik modal).

Setelah usaha berjalan, Ahmad mendapat keuntungan bersih sebesar Rp 200.000/bulan. Jadi dalam setahun Ahmad mendapat keuntungan Rp. 200.000 x 12 bulan = Rp 2.400.000,-.

Berdasar kesepakan nisbah bagi hasil = 80 : 20 maka didapatkan hasil sebagai berikut :
• Pengelola (Ahmad ) memperoleh : 80 % x Rp. 2.400.000 = Rp. 1.920.000
• Pemilik modal (BPRS Meru) memperoleh : 20 % x Rp. 2.400.000 = Rp.  480.000
 Jumlah = Rp. 2.400.000
Dari hasil perhitungan di atas maka Ahmad harus mengembalikan Rp 2.980.000 terdiri dari pinjaman pokok Rp 2.500.000 dan nisbah bagi hasil untuk BPRS Meru Rp. 480.000.

Dari cerita singkat di atas dapat diambil kesimpulan :
Uang tambahan yang harus di setor ke BPRS Meru Rp. 480.000, adalah bukan riba, sebab perhitungan keuntungan tersebut sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak (Ahmad dan BPRS) dan ada unsur saling menguntungkan/tidak ada yang dirugikan.

2. Hukum Riba

Hukum riba dalam hukum Islam secara tegas dinyatakan haram. Berdasarkan dalil tersebut di bawah ini :
a. Dali Al-Qur’an
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah: 275)

Dalam kitab Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam karya Muhammad Ali al-Ṣabuni dijelaskan,bahwa bagi pemakan riba kelak di hari kiamat digambarkan akan sempoyongan jatuh bangun seperti orang kesurupan (gila), karena perut mereka yang besar dan berat, sehingga semua orang akan mengenalnya sebagai orang yang ketika di dunia memakan riba.

b. Dalil Hadis
. . . “Dari Jabir Ra. ia berkata, ‘Rasulullah Saw. telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim)

a.  Ijma’ para ulama
Ulama berpendapat bahwa, orang yang memakan riba kelak di akhirat akan dikumpulkan dalam keadaan gila, kekal di neraka, dismakan dengan orang kafir, hingga mendapat laknat dari Allah dan Rasul yang kekal, di duniapun orang yang makan riba kehidupanya tercela, penuh kemarahan, hilang rasa keadilanya, dan selalu mendapat doa buruk dari orang-orang yang merasa dizalimi. Hal itu terjadi disebabkan karena hilangnya kebaikan dan barokah rizki, oleh karena itu, betapa buruk maksiat riba, betapa besar dosa riba dan betapa kejinya akibat riba sehingga Allah Swt. sangat mengutuk dan mengharamkan riba. Riba dengan segala macamnya diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang tegas di atas. Sedikit atau banyak, riba hukumnya sama yaitu haram.

3. Macam-macam riba

Riba yang diharamkan Islam ada dua macam, yaitu :
a. Riba Faḍli
Riba faḍli yaitu tukar menukar dua buah barang yang sama jenisnya, dengan mensyaratkan suatu tambahan sehingga terdapat pihak yang dirugikan, contoh 1 Kg beras ditukar dengan 2 kg beras, 1 liter madu ditukar dengan 2 liter madu. Perkara yang dilarang adalah kelebihan (perbedaannya) ukuran/takaran tersebut. Nabi Muhammad Saw.  bersabda :
“Dari Ubaidah bin Ash-Shamit ra, Nabi Muhammad Saw. telah bersabda: emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya sama banyaknya, tunai dan timbang terima, maka apabila berlainan jenisnya ini, maka boleh kamu menjual sekehendakmu, asalkan dengan tunai.” (HR.Muslim dan Ahmad)

Supaya tukar menukar ini tidak termasuk riba maka harus ada 3 macam syarat yaitu:
1). Tukar menukar barang tersebut harus sama.
2). Timbangan atau takarannya harus sama.
3). Serah terima pada saat itu juga.

b. Riba Qarḍi
Riba qarḍi yaitu dalam utang piutang dengan syarat ada keuntungan atas bunga bagi yang mengutangi. Contoh, utang Rp. 90.000 harus dikembalikan Rp. 95.000 jadi ada lebihnya Rp. 5.000.

c. Riba Yad
Riba Yad yaitu bila meninggalkan tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contoh, seseorang membeli 1 kilo beras setelah uang dibayar maka si penjual pergi sedangkan beras jualan dalam karung belum ditimbang ckuptidaknya. Jadi jual beli itu belum benar -benar serah terima.

d. Riba Nasiah
Riba nasiah yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pembayaran hutang. Cotohnya seorang menghutangi uang dalam jumlah tertentu kepada orang lain dengan batas waktu tertentu, misalnya1 bulan atau 1 tahun. Apabila sampai batas waktu tersebut penghutang belum mampu mengembalikan kemudian pemberi hutang member syarat bunga sebagai imbalan dari tambahan batas waktu yang telah diberikan.

4. Bahaya riba

a. Bagi  Jiwa manusia
a. Riba dapat menumbuhkan sifat egois, sehingga pemakan riba tidak peduli terhadap orang lain namun mementingkan dirinya sendiri.
b. Riba juga dapat menghilangkan perasaan cinta kebajikan dan perasaan sosial.
c. Pemakan riba akan selalu haus untuk mengumpulkan harta meskipun dengan cara memeras darah orang lain

b. Bahaya bagi masyarakat
d. Riba dapat melhirkan permusuhan dilingkungan warga masyarakat
e. Riba menghancurkan seluruh bentuk kasih sayang, persaudaraan dan perbuatan-perbuatan baik dalam diri manusia
f. Riba dapat menaburkan benih-benih hasut (provokator) dan kebencian dalam hati manusia, dan menghancurkan hubungan persaudaraan

c. Bahayanya terhadap ekonomi
a. Dalam pandangan ekonomi, riba dapat membelah manusia dalam 2 tingakatan, yaitu :
1). Tingkat elit, yang bergelimang dalam kemewahan dan kesenangan lewat keringat orang lain
2). Tingkat miskin, yang hidup dalam penderitaan dan kekurangan
b. Dari pembagian kelas di atas akan memunculkan kesenjangan sosial dan tingkat kese- jahteraan dimana kekayaan hanya bertumpuk di tangan beberapa orang saja, hal inilah menjadi pangkal terjadinya musibah yang akan menimpa suatu masyarakat atau bangsa.

5. Menghindari Kegiatan Riba

Berikut syarat-syarat jual beli agar tidak menjadi riba.
1. Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
a. Sama jumlah timbangan dan banyaknya
b. Dilakukan secara tunai
c. Akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
2. Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
a. Dilakukan secara tunai
b. Akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.

6. Hikmah diharamkannya riba

1. Terhindar dari sikap serakah atau tamak terhadap harta yang bukan miliknya
2. Mencegah permusuhan dan menumbuhkan semangat kerja sama atau saling menolong sesama manusia.
3. Mencegah munculnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras dan penimbun harta di tangan satu pihak.
4. Menghindari dari perbuatan aniaya karena memeras kaum yang lemah, karena riba merupakan salah satu bentuk penjajahan atau perbudakan dimana satu pihak menindas pihak yang lain.
5. Mengarahkan kaum muslimin mengembangkan hartanya dalam mata pencarian yang bebas dari unsur penipuan
6. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaannya, karena orang yang memakan riba adalah zalim, dan kelak akan binasa.

Demikianlah penjelasan Pengertian Jual Beli, Qiraḍ, dan Riba - Diharapkan materi ini akan lebih mudah diakses sehingga siswa dan guru di seluruh Indonesia maupun sekolah Indonesia yang berada di luar negeri dapat memanfaatkan sumber belajar ini.

Materi disalin dari buku teks pelajaran "Buku Fikih Siswa Kelas 9 100 hal (8 Nov 2016)" Hak Cipta pada Kementerian Agama Republik Indonesia Dilindungi Undang-Undang, Buku ini dipersiapkan Pemerintah dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Buku ini disusun dan ditelaah oleh berbagai pihak di bawah koordinasi Kementerian Agama, dan dipergunakan dalam penerapan Kurikulum 2013. Buku ini merupakan “Dokumen Hidup” yang senantiasa diperbaiki, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika perubahan zaman. Masukan yang membangun, dari berbagai kalangan dapat meningkatkan kualitas buku ini.