File Modul/Soal/Ebook App [KLIKDISINI]

Tenaga Endogen dan Eksogen Pembentuk Litosfer Bagian 3 Gempa

Tenaga Endogen dan Eksogen Pembentuk Litosfer Bagian 3 Gempa - Secara umum, proses endogen dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tektonisme, vulkanisme, dan gempa. Sebenarnya ketiga tenaga tersebut merupakan rangkaian proses alamiah yang saling berhubungan satu sama lain, yang dapat dijelaskan oleh salah satu teori dinamika Bumi yang dikenal dengan Teori Tektonik Lempeng (Plate Tectonic Theory).

Gempa

Gejala alam yang juga sering kali dirasakan sebagai akibat dinamika litosfer adalah gempa. Dalam ilmu kebumian gempa dikenal dengan getaran seismik. Gempa dapat diartikan sebagai bergetarnya lapisan litosfer dan permukaan bumi karena sebab-sebab tertentu.

Tenaga Endogen dan Eksogen Pembentuk Litosfer Bagian 3 Gempa

Kekuatan getaran gempa diukur oleh alat yang disebut Seismometer atau lebih dikenal dengan Seismograf, sedangkan kertas yang berisi rekaman frekuensi dan intensitas gempa dinamakan Seismogram. Cabang ilmu kebumian yang secara khusus mempelajari hal ihwal kegempaan dinamakan Seismologi.

Berdasarkan faktor penyebabnya, gempa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut.

a) Gempa tektonik yaitu getaran gempa yang diakibatkan proses tektonik baik lipatan atau patahan muka Bumi sehingga mengakibatkan pergeseran (dislokasi) lapisan-lapisan batuan pembentuk litosfer. Pusat gempa tektonik tersebar di sepanjang zona penyusupan (subduksi) lempeng samudra ke bawah lempeng benua.

Baru-baru ini serangkaian gempa bumi mengguncang wilayah Pantai Selatan Pulau Jawa khususnya kawasan Pantai Pangandaran, Jawa Barat.

Gempa tektonik ini berkekuatan 6,8 skala richter dengan pusat gempa pada kedalaman kurang dari 39 km di titik 9,4°LS dan 107,2°BT.

Pusat gempa Pangandaran berada di sebelah Selatan Pameungpeuk dengan jarak sekitar 100–150 km dan merupakan zona pertemuan dua lempeng benua Indo-Australia dan Eurasia pada kedalaman kurang dari 30 km.

b) Gempa vulkanik, yaitu getaran gempa yang menyertai aktivitas gunungapi, baik sebelum maupun pada saat terjadi erupsi.

c) Gempa terban (runtuhan), yaitu gempa yang terjadi akibat runtuhnya massa batuan mengisi ruang yang kosong dalam litosfer. Gempa ini sering terjadi akibat ambruknya gua-gua kapur atau terowongan pertambangan bawah tanah.

Penggolongan gempa juga didasarkan atas karakteristik hiposentrum dan episentrumnya. Hiposentrum (pusat gempa) adalah titik atau garis dalam litosfer yang menjadi tempat terjadinya gempa.

Adapun Episentrum adalah titik atau garis di permukaan Bumi sebagai tempat gelombang gempa dirambatkan ke wilayah di sekitarnya. Letak episentrum adalah tegak lurus terhadap hiposentrum.

Berdasarkan kedalaman hiposentrum dikenal tiga macam gempa, yaitu sebagai berikut.

a) Gempa dalam, jika jarak hiposentrumnya berkisar antara 300–700 km dari permukaan bumi.
b) Gempa pertengahan, jika jarak hiposentrumnya berkisar antara 100-300 km dari permukaan bumi.
c) Gempa dangkal, jika jarak hiposentrumnya kurang dari 100 km dari permukaan bumi.

Dari hiposentrum (pusat gempa), gelombang seismik dirambatkan ke permukaan bumi berupa gelombang primer (P) dan gelombang sekunder (S). Gelombang primer, yaitu getaran yang kali pertama dirasakan di muka bumi oleh seismograf, sedangkan getaran-getaran yang dirasakan selanjutnya dinamakan gempa sekunder.

Setelah sampai ke permukaan bumi, getaran gempa tersebut kemudian dirambatkan ke segala arah dalam bentuk gelombang permukaan dengan cepat rambat antara 3,5–3,9 km/detik. Gelombang permukaan inilah yang sering kali menghancurkan wilayah yang dilaluinya.

Adapun berdasarkan letak episentrumnya, gempa dibedakan menjadi dua, yaitu gempa yang episentrumnya di darat dan di dasar laut. Ada kalanya gempa di dasar laut dapat mengakibatkan gelombang pasang air laut secara tiba-tiba. Gelombang pasang semacam ini dinamakan Tsunami.

Tinggi gelombang laut saat terjadi tsunami dapat mencapai puluhan meter, sehingga dalam waktu sesaat gelombang pasang ini dapat menghancurkan segala sesuatu yang ada di wilayah pantai dan sekitarnya bahkanmerenggutjiwamanusia.Sebagai contoh, tsunami yang menimpa kawasan Nanggroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias tahun 2004.

Teknik penentuan lokasi gempa Bumi berdasarkan metode episentral.

a) Metode Penentuan Episentrum Gempa

Untuk menentukan lokasi sumber gempa atau episentrum secara akurat dapat digunakan dua cara, yaitu dengan menggunakan metode jarak episentral dan homoseista.
(1) Metode Episentral
Episentral adalah jarak antara sumber gempa atau episentrum dan stasiun pengamat gempa. Untuk menentukan posisi sumber gempa dengan metode ini, diperlukan data waktu kejadian gempa minimal dari tiga stasiun pengamatan, sehingga kita dapat menghitung jarak episentral dari setiap stasiun dengan menggunakan Rumus aska, yaitu sebagai berikut.







Contoh :

Dalam satu kejadian gempa, tercatat waktu getaran gelombang primer dan sekunder dari tiga stasiun pengamat A, B dan C sebagai berikut ini.

Stasiun A    :  gelombang P pertama pukul 19:17.15 WIB gelombang S pertama pukul 19:19.30 WIB
Stasiun B    :  gelombang P pertama pukul 19:25.12 WIB gelombang S pertama pukul 19:28.42 WIB
Stasiun C    :  gelombang P pertama pukul 19:40.15 WIB gelombang S pertama pukul 19:43.15 WIB
Dari data tersebut, dapat dihitung dan menentukan posisi episentrum atau sumber gempa dengan langkah-langkah pengerjaan sebagai berikut.

(a) Menentukan jarak episentral dari masing-masing stasiun pengamat, (karena 1’ = 60”, 15” = 15/60 = 0,25’), artinya episentral dari stasiun pengamat A berjarak 250 km. (karena 1’ = 60”, 30” = 30/60 = 0,5’), artinya episentral dari stasiun pengamat B berjarak 2.500 km. Episentral dari stasiun C=
3.000 km.

(b) Membuat lingkaran-lingkaran pada peta dengan titik pusat lingkaran setiap lokasi stasiun pengamat, yaitu A, B dan C. Panjang jari-jari lingkaran sama dengan jarak episentralnya dan disesuaikan dengan skala peta. Misalnya skala peta adalah 1:100.000.000, artinya jarak 1 cm pada peta sebanding dengan 1.000 km di permukaan Bumi. Maka jari-jari lingkaran A = 2,5 cm B = 25 cm dan C = 30 cm.
(c) Titik pertemuan ketiga lingkaran merupakan lokasi episentrum kejadian gempa tersebut.

(2) Metode Homoseista

Homoseista adalah garis pada peta yang menghubungkan tempat-tempat di permukaan Bumi yang mencatat getaran gempa yang pertama pada waktu yang sama. Misalnya, seismograf yang terdapat di stasiun D, E, dan F mencatat getaran gempa pada pukul 20:35.15 WIB. Pada peta ketiga stasiun tersebut terletak pada satu garis homoseista. Untuk menentukan lokasi episentrum, buatlah garis DE, dan EF kemudian tariklah sumbu dari kedua garis tersebut. Pertemuan kedua sumbu garis merupakan lokasi episentrum.

Berdasarkan data seismometer, para ahli gempa bumi telah mengembangkan berbagai ukuran untuk mengukur kekuatan sebuah gempa. Skala yang terkenal dan banyak digunakan adalah skala yang disusun oleh Charles F. Richter dan Beno Gutenberg berdasarkan gempa yang terjadi di California pada 1906. Skala ini kemudian terkenal dengan nama skala richter.

Tabel 3.1: Kategori Skala Richter

Skala richter menggunakan dasar penghitungan amplitudo gelombang parameternya adalah beda waktu tempuh antara gelombang P dan gelombang S. Richter membagi kekuatan gempake dalam 10 bagian. Angka 10 adalah ukuran untuk gempa yang sangat kuat.

Selain itu, ada Moment-Magnitude Scale, yang bisa digunakan untuk mengukur gempa berkekuatan luar biasa. Selain itu juga ada Modified Mercalli Intensity Scale. Skala ini, terutama untuk mengukur intensitas gempa atau efek-efeknya pada lokasi yang spesifik.

Skala intensitas Mercalli membagi intensitas gempa antara I sampai XII, dan cara mengukurnya cukup dengan observasi langsung pada lingkungan sekitar.

Skala I: Jarang sekali sampai dirasakan orang. Gempa sangat ringan (very minor) ini tergolong jarang terjadi. Bumi setiap tahun rata-rata diguncang 1,5 juta kali gempa. Tujuh puluh persen di antaranya berkekuatan antara 2–2,9 Skala Richter.

Skala II: Hanya dirasakan di dalam rumah oleh orang dalam keadaan tenang atau sedang beristirahat. Barang-barang yang tergantung kemungkinan akan terayun sedikit.

Skala III: Dirasakan di dalam rumah oleh beberapa orang, namun terkadang tidak dikenali sebagai suatu gempa. Getaran yang dirasakan seperti kalau ada truk ringan yang lewat. Barang yang tergantung mungkin akan terayun.

Skala IV: Di dalam rumah akan dirasakan lebih banyak orang, sedangkan di luar hanya terasa oleh sedikit orang saja. Barang yang tergantung akan terayun. Getarannya setara dengan truk besar yang lewat. Mobil yang diparkir bergoyang, jendela atau pintu bergetar. Binding kayu bisa retak.

Skala V: Orang yang sedang tidur bisa terbangun. Benda-benda kecil tergeser atau terbalik dan beberapa barang pecah belah akan pecah. Pendulum jam akan terhenti atau kecepatan ayunnya menjadi berubah. Pepohonan atau tiang-tiang yang tinggi terkadang terlihat terayun.

Skala VI: Dirasakan oleh semua orang, namun kerusakannya ringan. Banyak orang ketakutan dan lari ke luar rumah. Orang berjalan terhuyung-huyung, barang-berang pecah, kaca termasuk pada jendela pecah. Perabotan rumah tergeser atau terbalik, dan plasteran dinding yang kurang kuat akan retak.

Skala VII: Orang akan kesulitan berdiri. Kerusakan pada bangunan yang dirancang dan dibangun dengan baik tidaklah berarti. Namun pada bangunan yang jelek rancangan maupun konstruksinya, kerusakannya cukup besar. Plesteran dinding dan genteng dapat Iepas, juga bata yang tidak tersemen.

Skala VIII: Orang-orang ketakutan. Kerusakan masih terbilang kecil untuk bangunan dengan rancangan dan konstruksi khusus, sedangkan pada bangunan biasa, cukup besar. Cerobong asap, monumen, menara dan
sebagainya dapat patah atau ambruk. Cabang-cabang pohon pun dapat patah.

Skala IX: Timbul kepanikan umum. Bangunan yang dirancang dan dibangun secara khusus pun dapat rusak cukup berat, sementara bangunan lainnya akan rusak lebih parah, bahkan dapat ambruk. Pondasi-pondasi bangunan akan rusak, dan bangunan di atasnya yang tidak disekrupkan akan terlepas.

Skala X: Kebanyakan bangunan batu dan berstruktur kayu gaus akan hancur. Kerusakan serius akan terjadi pada bendungan, tanggul, dan tepian-tepian lainnya. Tanah longsor terjadi cukup besar, dan air akan menghantam tepian sungai, danau maupun kanal-kanal. Rel kereta api dapat sedikit melengkung.

Skala XI: Hanya sedikit struktur bangunan batu yang tetap berdiri, lainnya runtuh. Jembatan juga pada ambruk, dan tanah longsor terjadi di mana-mana. Pipa-pipa di bawah tanah benar-benar hancur dan tidak akan berfungsi lagi. Rel kereta api umumnya akan bengkok.

Skala XII: Kehancuran praktis menyeluruh dan total. Gelombang-gelombang gempa terlihat muncul di permukaan tanah. Massa besar batu-batu beralih tempat, sementara benda-benda lain terlempar ke atas. Garis dan tingkat pandangan pun menjadi kacau, sampai terdistorsi akibat hebatnya goncangan.